Senin, 23 April 2012

Pengesahan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ditinjau dari Sudut Pandang Sosiologi Hukum


       Indonesia memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit dan hal ini mempengaruhi jumlah angkatan kerja tiap tahunnya yang makin meningkat. Angkatan kerja tersebut tentu diperngaruhi oleh faktor-faktor tertentu dalam pengelompokannya. Hal ini biasanya berdasarkan tingkat pendidikan yang terakhir dienyam oleh angkatan kerja tersebut. Semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja yang ada, otomatis meningkatkan angka persaingan untuk menduduki suatu posisi tertentu. Maka, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang semakin rendah pula jabatan yang akan didapatkan di suatu perusahaan atau instansi. Hal pokok yang menjadi dasar ini semua ialah permasalahan pendidikan yang tidak merata di Indonesia ini. Pendidikan semakin mahal dan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang berada pada kondisi ekonomi menengah keatas. Lalu, bagaimanakah dengan kondisi pendidikan pada kalangan masyarakat ekonomi mengengah kebawah? Sebagian besar dari masyarakat tersebut hanya dapat mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas. Keadaan tersebut tentu berpengaruh di dunia kerja, dimana mereka hanya dapat menempati posisi sebagai pekerja atau buruh.
Peningkatan jumlah buruh dari tahun ketahun yang semakin meningkat ini tidak disertai dengan sikap pemerintah yang tanggap untuk menghadapi permasalahn ini. Misalnya saja untuk masalah kesejahteraan buruh atau pekerja yang sejak dahulu telah menjadi tuntutan buruh tersebut sampai detik ini belum mendapat tanggapan serius dari pemerintah. Pemberlakuan upah minimumpun belum dapat berlaku secara efektif, masih banyak perusahaan yang memberikan upah yang tidak sesuai dengan upah minimum regional suatu daerah atau lebih tepatnya berada dibawah upah minimum regional suatu daerah tersebut.
            Terkait dengan kesejahteraan buruh atau pekerja tersebut, permasalahan yang sedang terjadi saat ini ialah mengenai jaminan sosial yang diperuntukkan buruh tersebut. Pada tanggal 28 Oktober 2011, DPR RI telah mengetukkan palunya yang menandai sahnya Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pengesahan undang-undang ini tentu menjadi kontroversi karena keberadaan final draft undang-undang ini belum ada pada saat disahkannya. Hal tersebut tentu menjadi tanda tanya besar dibalik pengesahan ini, ada apakah dibalik semua ini?
            Para kaum buruh atau pekerja ada yang menentang pengesahan undang-undang tersebut namun banyak juga yang mendukung pengesahan undang-undang tersebut. Hal ini dikarenakan menurut kaum buruh atau pekerja tersebut, pengesahan undang-undang ini bukan semata-mata untuk memberikan dan meningkatkan kesejahteraan bagi buruh atau pekerja, melainkan sebaliknya, yaitu untuk menurunkan kesejahteraan bagi buruh atau pekerja tersebut. Sedangkan bagi buruh yang mendukung pengesahan undang-undang tersebut, mengharapkan dengan disahkannya undang-undang tersebut akan ada perubahan yang lebih baik bagi pemberian jaminan sosial bagi buruh dan keluarga khususnya dan rakyat Indonesia umumnya.
Kebijakan terbaru yang terdapat pada Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini yaitu dengan menggabungkan 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial di Indonesia, yaitu PT. JAMSOSTEK (Persero), PT. ASKES (Persero), PT. ASABRI (Persero), dan PT. TASPEN (Persero). Keempat BUMN tersebut dilebur dan dibagi menjadi dua yaitu BPJS 1 dan BPJS 2 yang kesemuanya itu nantinya memiliki fungsi yang berbeda. Peleburan tersebut tentunya tidak mudah dilaksanakan dan perlu pemindahan data-data pekerja yang telah terdaftar didalam data yang lama.
Hal ini menimbulkan kekahwatiran dari pihak buruh atau pekerja yaitu dengan adanya peleburan ini, pekerja khawatir jika pengusaha enggan untuk mendaftar ulangkan pekerjanya untuk mengikuti program jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah tersebut. Dengan demikian, jika hal tersebut terjadi tentunya akan menghilangkan sebagian hak pekerja untuk memperoleh jaminan sosial atasnya.
Jika ada kewajiban mengenai keharusan pengusaha untuk memberikan jaminan sosial bagi para pekerjanya yaitu jaminan sosial yang diselenggarakan oleh PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero), namun boleh menyelenggarakan sendiri jaminan sosial bagi pekerjanya jika jaminan sosial tersebut programnya lebih baik dari yang diselenggarakan oleh PT. JAMSOSTEK (Persero), maka hal tersebut sulit untuk diwujudkan, karena penyelenggaraan jaminan sosial bagi pekerja diluar program yang dilaksanakan oleh PT. JAMSOSTEK (Persero) sangatlah mahal dan selama ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan besar tertentu. Berdasarkan realita yang ada saat ini bahwa untuk memberikan jaminan sosial bagi para pekerjanya dengan mengikutkan pada program yang diselenggarakan oleh PT. JAMSOSTEK (Persero) saja pengusaha masih enggan, bagaimana untuk menyelenggarakan yang lebih baik dan dengan nominal yang besar juga. Atau ditambah dengan kerumitan birokrasi yang dilakukan yang dirasakan kurang efektif dalam penyelenggaraan jaminan sosial ini, yaitu pendaftarannya pada BPJS 1 dan BPJS 2.
Pemberlakuan kedua badan penyelenggara yang dibentuk tersebut tidak bersamaan. Rencana yang dibuat oleh pemerintah, BPJS 1 akan diberlakukan pada tahun 2014 sedangkan BPJS 2 akan diberlakukan pada tahun 2016. Hal ini tentu menunjukkan semakin kacaunya hukum negeri ini dengan pemberlakuan peraturan yang semakin tidak jelas dan semakin memisahkan jarak antara masyarakat dengan hukum.
Berbicara tentang jarak yang lebar antara hukum dan masyarakat, maka dapat diketahui bersama bahwa Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan hal ini pada teori hukum progresif miliknya. Pada teori hukum progresif tersebut dikemukakan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, munisa untuk hukum. Hukum progresif merupakan suatu gagasan hukum yang muncul karena melihat keprihatinan terhadap kondisi hukum di Indonesia. Prof. Satjipto Rahardjo dalam teorinya tersebut mengemukakan bahwa, yang menjadi pangkal pikiran dari adanya hukum progresif ini yaitu, hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[1]
Hukum progresif ini ingin membebaskan manusia dari keterikatannya dan ketundukan secara kaku terhadap hukum positif yang berkembang pada zaman modern yang dianggap kaku terhadap bentuk hitam putihnya. Ketundukan dan keterikatan manusia terhadap hukum yang telah dikodifikasikan ini terjadi pada abad ke XIX dimana ada anggapan bahwa tidak akan ada lagi perkembangan hukum selanjutnya. Hal ini kemudian patah seketika ketika muncul adanya hukum perburuhan di awal abad ke XX. Prof. Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa munculnya hukum perburuhan ini tidak dapat didasarkan lagi pemikirannya pada hukum klasik yaitu pemilikan dalam hukum klasik berarti pemilikan manusia atas barang. Pada masa industrialisasi buruh merupakan salah satu faktor produksi, dimana kedudukannya sejajar dengan mesin dan tanah. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi dan harus ada perubahan yaitu mengubah konsep pemilikan lama yang menyebutkna bahwa pemilikan buruh ialah pemilikan manusia atas barang, melainkan penguasaan atas manusia. (Renner, 1969; Rahardjo, 2002; Sinzheimer, 1953).[2]
Keberadaan hukum perburuhan ini secara tidak langsung menyadarkan akan adanya suatu kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Kelas-kelas sosial yang berlapis yang ada dalam masyarakat tersebut disebut dengan social stratification yaitu pembedaan masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat. Pembagian masyarakat atas kelas-kelas tersebut berdasarkan pada dua hal yaitu kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan tertinggi dari kelas ini (upper class) jumlahnya tidaklah sebanyak jumlah masyarakat yang berada pada lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class). Hal ini karena perbedaan kemampuan dalam bekerja yang berbeda-beda yang nantinya menentukan kedudukan dan peranan dalam masyarakat. Kedudukan dan peranan yang tertinggi dalam masyarakat dianggap terpenting dan memerlukan kemampuan dan pelatihan yang maksimal.[3]
Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam suatu struktur sosial, maka semakin orang tersebut memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang ada tersebut dapat dikendalikan oleh hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut dan tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Keberadaan hukum ini tidak terlepas dari struktur sosial, yaitu hukum dalam keadaan tertentu menyesuaikan diri dengan struktur sosial, namun kenyataannya masih terjadi hal yang sebaliknya. Hal ini ditambah dengan mempelajari struktur sosial dapat diketahui bahwa selain hukum, terdapat pula alat-alat pengendali sosial lainnya yang dalam keadaan tertentu dapat lebih efektif daripada hukum.[4]
            Membahas mengenai kekuasaan, menurut teori yang dikemukakan Karl Marx dalam Teori Karl Marx I bahwa siapa yang menguasai negara dan mendominasi hubungan ekonomi, maka akan dapat mendikte hukum negara dan dapat menguasai suprastruktur negara. Penguasaan atas negara ini berarti dapat menguasai hukum negara tersebut dengan tujuan dapat melindungi kepentingannya dan sampai mengorbankan kelompok mayoritas yang tidak menguasai hal tersebut.
            Hal tersebut juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan Stone yaitu  hukum itu tidak lebih dari sekedar alat sebuah permainan penuh rahasia diantara dua atau lebih kelompok yang dominan dalam kelompok yang dominan dalam masyarakat yang dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan mereka yaitu sebuah proses yang tidak bisa dilihat dipermukaan tapi itu berlangsung.
            Berdasarkan pada teori Karl Marx I, penulis mencoba mengembangkan terori tersebut yaitu dengan mengaitkan kondisi hukum di Indonesia dengan proses terjadinya hujan. Hal ini memang terdengar tidak berkaitan satu dengan yang lain yaitu antara hukum negara dan proses terjadinya hujan, namun penulis mencoba menguraikannya sebagai berikut.
            Hujan diartikan sebagai suatu keberkahan. Jadi, ketika hujan turun maka bersamaan dengan itu turunlah keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan, disalah satu agama menyebutkan bahwa salah satu waktu yang tepat untuk berdoa ialah pada saat turunnya hujan.
            Hujan merupakan kejadian alam yang terjadi melalui rangkaian proses hingga dapat turun sebagaimana yang sering dilihat selama ini. Adapun rangkaian proses terjadinya hujan tersebut antara lain diawali dengan proses penguapan atau yang disebut dengan evaporasi. Penguapan tersebut berasal dari perairan yang dipicu dengan panas matahari. Uap air yang naik ke udara, setelah itu mengalami proses pemadatan atau kondensasi yang kemudian membentuk awan dan dibantu dengan tiupan angin maka terjadilah hujan.[5]
            Proses tersebut jika dikaitkan dengan kondisi hukum di Indonesia saat ini, maka perairan ataupun segala macam sumber air yang dapat menyebabkan terjadinya hujan tersebut dapat diibaratkan dengan masyarakat yang ada di Indonesia. Kehidupan dalam masyarakat tidak selamanya berjalan tenang, namun juga banyak terjadi konflik yang ada dalam masyarakat tersebut. Jika dalam proses terjadinya hujan ini, panas matahari dianggap sebagai masalah yang menjangkiti masyarakat tersebut yang kemudian menjadi uap yang diibaratkan permasalahan masyarakat yang mencuat ke permukaan. Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut dikumpulkan dilangit atau dalam kondisi negara ini, langit tersebut diumpamakan sebagai kekuasaan yang ada di negara ini, yaitu di Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas mewakili rakyat dan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan rakyat dengan membentuk suatu perundang-undang bersama dengan Presiden. Permasalahan yang telah terkumpul tadi kemudian diselesaikan dengan dibuatkan suatu undang-undang yang diibaratkan dengan awan yang berlaku sebagai hukum di masyarakat.
            Perundang-undangan yang telah dibuat yang berlaku sebagai hukum dimasyarakat tersebut kemudian disahkan dan dalam proses terjadinya hujan  mulai ditiup oleh angin yang kemudian bersamaan dengan itu hukum tersebut berlaku bagi seluruh rakyat. Maka hujan yang turun tersebut merupakan suatu keadilan yang turun bagi rakyat dan  memberikan rasa keadilan bagi rakyat.
Kenyataan yang ada sekarang ini ada metode untuk menghalau hujan turun ke bumi yaitu dengan metode stabilitas awan, yaitu dengan menggunakan pesawat casa 212 dan pesawat cesna yang berperan untuk menaburkan bahan higroskopis ke dalam awan. Ketika aka nada awan yang baru muncul, dimana biasanya tersusun atas 100 butir air percentimeter kubik dengan ukuran masing-masing 10 mikron, awan tersebut dapat tumbuh menjadi awan hujan saat menerima tambahan tambahan uap air. Untuk itu bahan higroskopis ditaburkan kurang dari 30 mikron agar awan tersebut tetap stabil dan tidak akan turun hujan.[6] Metode ini dalam pelaksanaannya tidaklah murah atau dengan kata lain butuh dana yang cukup besar untuk menyelenggarakannya. Tentunya hanya orang-orang tertentu yang dapat menyelenggarakan metode ini untuk melindungi kepentingannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan Teori Karl Marx I bahwa siapa yang menguasai negara dan mendominasi hubungan ekonomi, maka akan dapat mendikte hukum negara dan dapat menguasai suprastruktur negara. Begitupula dikaitkan dengan keberadaan metode yang dapat menghalau hujan demi keberlangsungan kepentingan sang pemilik kepentingan. Harga metode yang tinggi ini dapat diibaratkan sebagai penguasaan ekonomi yaitu hanya orang yang memiliki kemampuan finansial yang lebih lah yang dapat menyelenggarakan metode penghalau hujan ini dan dapat menghalangi terjadinya hujan yang diibaratkan sebagai hukum yang turun dan berlaku bagi masyarakat.  
Hal tersebut jika dikaitkan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pengesahan yang dilakukan tersebut dalam kondisi banyak kepentingan pihak-pihak tertentu didalamnya, dimana ketika undang-undang tersebut disahkan justru menimbulkan keresahan bagi kaum buruh atau pekerja. Keresahan ini timbul karena pada saat disahkannya undang-undang tersebut belum ada draft final dari undang-undang tersebut dan dikhawatirkan akan terjadi penyusupan pasal didalamnya yang cenderung akan melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Adapun pembentukan undang-undang ini merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pada undang-undang tersebut pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi yaitu pasal-pasal tersebut mengenai badan penyelenggara jaminan sosial hal ini berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-11/2005 tanggal 31 Agustus 2005, dimana pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dalam pasal tersebut BUMN yang berhak menyelenggarakan jaminan sosial hanyalah 4 BUMN yaitu PT. JAMSOSTEK (Persero), PT. ASKES (Persero), PT. ASABRI (Persero), dan PT. TASPEN (Persero) dimana kesemuanaya merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan jaminan sosial tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa jaminan sosial menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.  Hal tersebut tentu saja mengingat pula belum meratanya perolehan jaminan sosial yang ada dimasyarakat tentunya bagi kaum buruh atau pekerja tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut kemudian diamanahkan untuk menyamaratakan perolehan jaminan sosial disemua lapisan masyarakat Indonesia yaitu dengan pembentukan suatu undang-undang yang mengatur tentang badan penyelenggara jaminan sosial.
Pada hakikatnya seberapa pentingkah suatu jaminan sosial bagi pekerja ini? Suatu jaminan sosial sebenarnya tidak terlalu diperlukan manakala buruh dan keluarganya telah terjamin kesejahteraannya. Sebaliknya, di Indonesia kesejahteraan buruh dan keluarganya masih sangat jauh dan cenderung belum sejahtera. Oleh karena itu diperlukanlah suatu pembentukan jaminan sosial yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi kaum buruh tersebut.
Selama ini penyelenggaraan jaminan sosial bagi buruh yang dilaksanakan oleh PT. JAMSOSTEK (Persero) masih dirasakan para buruh belum bisa meningkatkan kesejahteraan kaum buruh tersebut. Hal ini karena perolehan jaminan sosial mereka selama ini jumlahnya masih sangat kecil. Misalnya saja untuk program jaminan hari tua, buruh hanya mendapatkan 5,70% dari gaji mereka dengan perincian 3,70% dibayarkan oleh pengusaha dan 2,00% dibayarkan oleh buruh tersebut.
Keberadaan UU BPJS ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, diluar adanya pro kontra yang timbul dimasyarakat tentang keberadaan undang-undang ini. Keberadaan undang-undang ini juga diharapkan semakin mendekatkan masyarakat dengan hukum, bukan justru sebaliknya semakin menjauhkan masyarakat dengan hukum dan berlanjut dengan menimbulkan suatu ketidak adilan bagi masyarakat.


[1] Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progrsif Sebuah Sisntesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 2.
[2] Ibid, hlm. 60.
[3] Soerjono Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Penerbit Bhratara, Jakarta, hlm. 74-75.
[4] Ibid, hlm. 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar