Selasa, 24 April 2012

Cinta Bunda

yap, ini tadi ceritanya iseng buka-buka folder masa lalu, dan saya pun menemukan cerpen yang pernah saya buat semasa SMA, hehe judulnya "Cinta Bunda"
nah ini lah ceritanya :D selamat membaca..



Kutatap wajah bunda yang sedang tertidur pulas disebelahku. Wajah yang lembut dan penuh cinta. Terlintas di benakku tentang semua yang telah bunda berikan padaku dan ketiga kakakku.
Tak terasa air mataku mengalir. Aku terharu. Aku membayangkan perjuangan bunda untuk menjadi seorang single parent. Yah, single parent. Itu karena ayahku telah meninggal karena kecelakaan pesawat. Ketika itu aku masih berusia 1 tahun. Jadi, aku belum terlalu merasakan kasih sayang seorang ayah. Tapi rasa itu sirna setelah melihat perjuangan bunda yang tidak pernah mengeluh untuk membesarkan aku dan ketiga kakakku.
Kini usiaku sudah menginjak 18 tahun. Besok adalah hari ujianku untuk meninggalkan bangku SMA. Aku akan berusaha keras. Aku ingin berhasil seperti ketiga kakakku dan seperti bunda.

* * *
“Sayang, besok kalau bunda tidak salah, ada malam perpisahan ya di sekolahmu?” bunda bertanya padaku pada saat kami berdua sedang sarapan, sehari setelah ujian sekolah dilaksanakan di sekolahku.
“Iya. Memangnya kenapa bunda?” aku menjawab pertanyaan bunda.
“Bunda mau tau aja, April udah punya gaun atau belum?”
“April belum sempat beli, bunda. Rencananya sih, April mau pakai gaun yang ada aja. Jadi, nggak usah beli baru lagi.”
Bunda tidak menyambung kata-kataku lagi. Dan hanya mengangguk kemudian menyelesaikan makannya dan segera beranjak dari meja makan, kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Aneh sekali, pikirku. Tak seperti biasanya bunda seperti itu. Tetapi tak lama kemudian, bunda keluar kamar dengan membawa sebuah kotak yang berukuran lumayan besar. Yah, kira-kira sebesar kardus mi instan.
“Coba sekarang sayang tebak apa isi dari kotak ini?” bunda berkata padaku seraya meletakkan kotak itu ke atas meja makan.
“Emm… Apa ya? Boneka?” aku menerka-nerka.
“Salah, sayang. Lebih baik, sekarang sayang buka deh kotak itu.”
Setelah bunda berkata seperti itu, aku segera membuka kotak itu. Wow, isinya ternyata sebuah gaun malam berwarna biru yang indah.
“Ini buat siapa, bunda?” tanyaku penasaran.
“Ya buat anak bungsu bunda dong,” bunda berkata sayang padaku.
Dengan segera aku memeluk bunda penuh haru. Tak henti-hentinya kuucapkan terima kasih pada bunda. Dalam hati kecilku aku sangat bersyukur sekali memiliki bunda yang penuh cinta. Bunda, April sayang bunda, kataku dalam hati.

* * *
Malam ini, telah kukenakan gaun indah pemberian bunda, kemarin. Kini aku sedang dalam perjalanan pulang dari hotel tempat dilaksanakannya acara perpisahan sekolahku bersama Mas Al, kakak keduaku. Kebetulan ketiga kakakku sedang berada di rumah semua.
Mas Al bekerja di sebuah perusahaan asing di Balikpapan, Kalimantan Timur. Jadi, kalau ada libur sebentar, Mas Al tidak menyia-nyiakannya untuk pulang ke Jakarta.
Lain halnya dengan Mbak Yanda dan Mas Fawwaz, kakak pertama dan ketigaku. Mereka berdua tinggal di Bandung, dan setiap minggunya pulang, kecuali ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Mbak Yanda, kakak pertamaku, bekerja pada sebuah perusahaan swasta dan sebagai pekerjaan sambilan, mbak Yanda menjadi penyiar radio swasta yang terkenal di Bandung.
Sedangkan Mas Fawwaz, kakak ketigaku, masih kuliah di Universitas Padjajaran, Bandung. Sekarang sudah semester empat. Sambil kuliah, Mas Fawwaz juga mengambil pekerjaan sampingan sebagai guru les matematika. Yah, memang, Mas Fawwaz ahli di bidang matematika.
Tak lama kemudian, kami sudah sampai di rumah. Tapi, aku rasa ada yang janggal. Tak seperti biasanya bunda tak menyambut kedatanganku. Biasanya setiap aku pulang dari manapun, atau kakak-kakakku datang dari manapun, bunda selalu menunggu di teras rumah, kecuali bunda sedang keluar kota atau bunda sedang sakit. 
Perasaanku mulai gundah. Dengan segera aku turun dari mobil dan mendapati Mas Fawwaz sedang duduk melamun di ruang tamu.
“Mas, bunda mana?” tanyaku pada Mas Fawwaz.
“…….”
“Mas, kok nggak jawab pertanyaanku sih? Bunda mana?” aku mendesak Mas Fawwaz untuk menjawab pertanyaanku.
“Bunda… Bunda, ada di kamar. Jantung bunda kambuh lagi,” Mas Fawwaz berkata lirih.
Aku segera berlari ke kamar bunda. Disana, Mbak Yanda sedang menunggu bunda dengan penuh kesabaran. Terlihat di raut wajah Mbak Yanda kesedihan yang mendalam.
 Aku melangkah ke dalam kamar bunda penuh kehati-hatian. Aku tak mau bunda terbangun dari tidurnya. Setelah aku sampai di samping Mbak Yanda, dia memelukku. Kurasakan ada yang menetes hangat di bahuku. Mbak Yanda menangis di bahuku. Tangisan tanpa suara, hanya air matanya yang menggambarkan kesedihannya yang mendalam. Akupun tak bisa menahan tangisku.
Terdengar pintu kamar bunda berbunyi, seperti ada yang membukanya. Kemudian terdengar langkah kaki masuk ke kamar bunda dari pintu itu. Mas Al dan Mas Fawwaz berjalan mendekati kami. Mereka pun tak dapat menyembunyikan kesedihan yang mereka rasakan.
Keesokan harinya, keadaan bunda tidak kunjung membaik. Maka, kami memutuskan untuk membawa bunda ke rumah sakit.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, keadaan bunda mulai membaik dan ketiga kakakku pun sudah kembali untuk merantau. Kini, aku sendiri yang menunggu bunda di rumah sakit. Mbok Asih, orang yang telah lama bekerja pada keluarga kami, menjaga rumah sendiri.
Handphone ku dalam sehari tak berhenti berbunyi. Baik itu mendapat telepon atau sekedar mendapatkan sms dari kakak-kakakku yang menanyakan keadaan bunda. Tak hanya dari kakak-kakakku saja, terkadang keluargaku yang lain dan teman-teman bunda juga menghubungiku.
Beberapa pekerjaan bunda sebagai notaris, agak terbengkalai. Namun itu semua kemudian dapat diatasi oleh beberapa asisten bunda.
Kini sudah hampir dua minggu lebih bunda berada di rumah sakit. Ternyata setelah pemeriksaan lebih lanjut, penyakit bunda tak hanya jantung saja, tetapi bunda juga terserang diabetes.
Besok aku harus berangkat ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusanku. Tetapi, keadaan bunda hari ini memburuk lagi. Aku sangat khawatir. Segera saja aku menghubungi ketiga kakakku. Dan mereka pun memutuskan untuk pulang ke Jakarta.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan. Sesampainya di sekolah, kulihat teman – temanku sedang cemas menanti pengumuman tersebut. Dan tak lama kemudian, pihak sekolah mengumumkan bahwa semua siswa kelas tiga dinyatakan lulus seratus persen.
Kami bersorak gembira mendengar pengumuman tersebut. Kemudian, semua siswa yang muslim melakukan sujud syukur di masjid sekolah. Rasa haru menyelimuti sekolahku yang terletak di sudut kota itu.
Setelah semua urusan sekolah selesai, dengan segera aku naik metro mini menuju rumah sakit. Aku membawa ijazah kelulusanku dengan penuh kebahagiaan. Aku akan menunjukkan ijazahku pada bunda. Aku yakin bunda pasti bahagia.
Setelah aku sampai di depan pintu kamar bunda, kulihat di dalam kamar, ketiga kakakku dan beberapa sanak saudaraku yang datang dari luar kota membacakan ayat suci Al – Qur’an di sisi-sisi tempat tidur bunda.
Deg. Jantungku serasa mau berhenti berdetak. Apa yang sebenarnya terjadi, ya Allah? Dengan segera aku mendekati tempat tidur bunda. Terlihat nafas bunda tersengal-sengal. Aku tak kuasa menahan air mata. Dengan segera Mas Al memelukku dan menuntunku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, agar aku bisa bersama-sama mereka untuk membacakan ayat suci Al - Qur’an untuk bunda.
“Sayang, Mas Al mohon, kendalikan diri ya? Sekarang ambil air wudhu setelah itu bergabunglah dengan kami. Kita tuntun bunda bersama ya?” Mas Al mencoba menenangkanku.
Dengan segera aku mengikuti saran Mas Al. Aku berusaha tenang. Sesekali ku tatap wajah bunda yang tampak pucat dan terlihat begitu lelah untuk bernafas. Nafas bunda semakin tidak terkendali dan terlihat bunda ingin mengucapkan pesan-pesan terakhirnya pada kami anak-anaknya.
“Yan… Yanda, Al, Fawwaz, bunda titip April. Jagalah dia, dan wujudkan cita-citanya. Maafkan atas semua kesalahan bunda selama ini. Dan pesan bunda yang terakhir, selalu ingatlah pada Yang Kuasa.”
Setelah mengucapkan beberapa kalimat tersebut, bunda dituntun oleh Mas Al untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan kemudian bunda dijemput oleh Yang Kuasa.
Kami berempat berpelukan, erat sekali. Tangis kami pecah. Kami tak menyangka bunda akan pergi menyusul ayah secepat itu.
“Terima kasih bunda. Terima kasih atas semua cinta bunda pada kami. Tiada orang lain yang bisa menggantikan posisi bunda dalam hidup kami. Terima kasih bunda, telah melahirkan, mendidik dan membesarkan kami dengan gigih dan penuh cinta. Kami, yang bukan apa-apa tanpa tuntunan bunda akan selalu berusaha mewujudkan semua angan-angan dan harapan bunda pada kami,” Mbak Yanda berkata lirih disamping jenazah bunda dan kemudian mencium bunda untuk yang terakhir kalinya.
Kemudian Mas Al, Mas Fawwaz dan aku bergantian mencium bunda untuk yang terakhir kalinya.
Terima kasih bunda…..



Created by • Ayunita N.R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar