yap, ini tadi ceritanya iseng buka-buka folder masa lalu, dan saya pun menemukan cerpen yang pernah saya buat semasa SMA, hehe judulnya "Cinta Bunda"
Kutatap wajah bunda yang sedang tertidur pulas disebelahku.
Wajah yang lembut dan penuh cinta. Terlintas di benakku tentang semua yang telah
bunda berikan padaku dan ketiga kakakku.
Tak terasa air mataku mengalir. Aku terharu. Aku membayangkan
perjuangan bunda untuk menjadi seorang single
parent. Yah, single parent. Itu
karena ayahku telah meninggal karena kecelakaan pesawat. Ketika itu aku masih
berusia 1 tahun. Jadi, aku belum terlalu merasakan kasih sayang seorang ayah.
Tapi rasa itu sirna setelah melihat perjuangan bunda yang tidak pernah mengeluh
untuk membesarkan aku dan ketiga kakakku.
Kini usiaku sudah menginjak 18 tahun. Besok adalah hari ujianku
untuk meninggalkan bangku SMA. Aku akan berusaha keras. Aku ingin berhasil
seperti ketiga kakakku dan seperti bunda.
* * *
“Sayang, besok kalau bunda tidak salah, ada malam perpisahan ya
di sekolahmu?” bunda bertanya padaku pada saat kami berdua sedang sarapan,
sehari setelah ujian sekolah dilaksanakan di sekolahku.
“Iya. Memangnya kenapa bunda?” aku menjawab pertanyaan bunda.
“Bunda mau tau aja, April udah punya gaun atau belum?”
“April belum sempat beli, bunda. Rencananya sih, April mau
pakai gaun yang ada aja. Jadi, nggak usah beli baru lagi.”
Bunda tidak menyambung kata-kataku lagi. Dan hanya mengangguk
kemudian menyelesaikan makannya dan segera beranjak dari meja makan, kemudian
masuk ke dalam kamarnya.
Aneh sekali, pikirku. Tak seperti biasanya bunda seperti itu.
Tetapi tak lama kemudian, bunda keluar kamar dengan membawa sebuah kotak yang
berukuran lumayan besar. Yah, kira-kira sebesar kardus mi instan.
“Coba sekarang sayang tebak apa isi dari kotak ini?” bunda berkata
padaku seraya meletakkan kotak itu ke atas meja makan.
“Emm… Apa ya? Boneka?” aku menerka-nerka.
“Salah, sayang. Lebih baik, sekarang sayang buka deh kotak
itu.”
Setelah bunda berkata seperti itu, aku segera membuka kotak
itu. Wow, isinya ternyata sebuah gaun malam berwarna biru yang indah.
“Ini buat siapa, bunda?” tanyaku penasaran.
“Ya buat anak bungsu bunda dong,” bunda berkata sayang padaku.
Dengan segera aku memeluk bunda penuh haru. Tak henti-hentinya
kuucapkan terima kasih pada bunda. Dalam hati kecilku aku sangat bersyukur sekali
memiliki bunda yang penuh cinta. Bunda, April sayang bunda, kataku dalam hati.
* * *
Malam ini, telah kukenakan gaun indah pemberian bunda, kemarin.
Kini aku sedang dalam perjalanan pulang dari hotel tempat dilaksanakannya acara
perpisahan sekolahku bersama Mas Al, kakak keduaku. Kebetulan ketiga kakakku
sedang berada di rumah semua.
Mas Al bekerja di sebuah perusahaan asing di Balikpapan, Kalimantan Timur. Jadi, kalau ada
libur sebentar, Mas Al tidak menyia-nyiakannya untuk pulang ke Jakarta.
Lain halnya dengan Mbak Yanda dan Mas Fawwaz, kakak pertama dan
ketigaku. Mereka berdua tinggal di Bandung,
dan setiap minggunya pulang, kecuali ada urusan penting yang tidak bisa
ditinggalkan.
Mbak Yanda, kakak pertamaku, bekerja pada sebuah perusahaan
swasta dan sebagai pekerjaan sambilan, mbak Yanda menjadi penyiar radio swasta
yang terkenal di Bandung.
Sedangkan Mas Fawwaz, kakak ketigaku, masih kuliah di
Universitas Padjajaran, Bandung.
Sekarang sudah semester empat. Sambil kuliah, Mas Fawwaz juga mengambil
pekerjaan sampingan sebagai guru les matematika. Yah, memang, Mas Fawwaz ahli
di bidang matematika.
Tak lama kemudian, kami sudah sampai di rumah. Tapi, aku rasa
ada yang janggal. Tak seperti biasanya bunda tak menyambut kedatanganku. Biasanya
setiap aku pulang dari manapun, atau kakak-kakakku datang dari manapun, bunda
selalu menunggu di teras rumah, kecuali bunda sedang keluar kota atau bunda sedang sakit.
Perasaanku mulai gundah. Dengan segera aku turun dari mobil dan
mendapati Mas Fawwaz sedang duduk melamun di ruang tamu.
“Mas, bunda mana?” tanyaku pada Mas Fawwaz.
“…….”
“Mas, kok nggak jawab pertanyaanku sih? Bunda mana?” aku
mendesak Mas Fawwaz untuk menjawab pertanyaanku.
“Bunda… Bunda, ada di kamar. Jantung bunda kambuh lagi,” Mas
Fawwaz berkata lirih.
Aku segera berlari ke kamar bunda. Disana, Mbak Yanda sedang
menunggu bunda dengan penuh kesabaran. Terlihat di raut wajah Mbak Yanda
kesedihan yang mendalam.
Aku melangkah ke dalam
kamar bunda penuh kehati-hatian. Aku tak mau bunda terbangun dari tidurnya.
Setelah aku sampai di samping Mbak Yanda, dia memelukku. Kurasakan ada yang
menetes hangat di bahuku. Mbak Yanda menangis di bahuku. Tangisan tanpa suara,
hanya air matanya yang menggambarkan kesedihannya yang mendalam. Akupun tak
bisa menahan tangisku.
Terdengar pintu kamar bunda berbunyi, seperti ada yang
membukanya. Kemudian terdengar langkah kaki masuk ke kamar bunda dari pintu
itu. Mas Al dan Mas Fawwaz berjalan mendekati kami. Mereka pun tak dapat
menyembunyikan kesedihan yang mereka rasakan.
Keesokan harinya, keadaan bunda tidak kunjung membaik. Maka,
kami memutuskan untuk membawa bunda ke rumah sakit.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, keadaan bunda mulai
membaik dan ketiga kakakku pun sudah kembali untuk merantau. Kini, aku sendiri
yang menunggu bunda di rumah sakit. Mbok Asih, orang yang telah lama bekerja
pada keluarga kami, menjaga rumah sendiri.
Handphone ku dalam
sehari tak berhenti berbunyi. Baik itu mendapat telepon atau sekedar
mendapatkan sms dari kakak-kakakku yang menanyakan keadaan bunda. Tak hanya
dari kakak-kakakku saja, terkadang keluargaku yang lain dan teman-teman bunda
juga menghubungiku.
Beberapa pekerjaan bunda sebagai notaris, agak terbengkalai.
Namun itu semua kemudian dapat diatasi oleh beberapa asisten bunda.
Kini sudah hampir dua minggu lebih bunda berada di rumah sakit.
Ternyata setelah pemeriksaan lebih lanjut, penyakit bunda tak hanya jantung
saja, tetapi bunda juga terserang diabetes.
Besok aku harus berangkat ke sekolah untuk melihat pengumuman
kelulusanku. Tetapi, keadaan bunda hari ini memburuk lagi. Aku sangat khawatir.
Segera saja aku menghubungi ketiga kakakku. Dan mereka pun memutuskan untuk
pulang ke Jakarta.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke
sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan. Sesampainya di sekolah, kulihat
teman – temanku sedang cemas menanti pengumuman tersebut. Dan tak lama
kemudian, pihak sekolah mengumumkan bahwa semua siswa kelas tiga dinyatakan
lulus seratus persen.
Kami bersorak gembira mendengar pengumuman tersebut. Kemudian,
semua siswa yang muslim melakukan sujud syukur di masjid sekolah. Rasa haru
menyelimuti sekolahku yang terletak di sudut kota itu.
Setelah semua urusan sekolah selesai, dengan segera aku naik
metro mini menuju rumah sakit. Aku membawa ijazah kelulusanku dengan penuh
kebahagiaan. Aku akan menunjukkan ijazahku pada bunda. Aku yakin bunda pasti
bahagia.
Setelah aku sampai di depan pintu kamar bunda, kulihat di dalam
kamar, ketiga kakakku dan beberapa sanak saudaraku yang datang dari luar kota membacakan ayat suci
Al – Qur’an di sisi-sisi tempat tidur bunda.
Deg. Jantungku serasa mau berhenti berdetak. Apa yang
sebenarnya terjadi, ya Allah? Dengan segera aku mendekati tempat tidur bunda.
Terlihat nafas bunda tersengal-sengal. Aku tak kuasa menahan air mata. Dengan
segera Mas Al memelukku dan menuntunku ke kamar mandi untuk mengambil air
wudhu, agar aku bisa bersama-sama mereka untuk membacakan ayat suci Al - Qur’an
untuk bunda.
“Sayang, Mas Al mohon, kendalikan diri ya? Sekarang ambil air
wudhu setelah itu bergabunglah dengan kami. Kita tuntun bunda bersama ya?” Mas
Al mencoba menenangkanku.
Dengan segera aku mengikuti saran Mas Al. Aku berusaha tenang. Sesekali
ku tatap wajah bunda yang tampak pucat dan terlihat begitu lelah untuk
bernafas. Nafas bunda semakin tidak terkendali dan terlihat bunda ingin
mengucapkan pesan-pesan terakhirnya pada kami anak-anaknya.
“Yan… Yanda, Al, Fawwaz, bunda titip April. Jagalah dia, dan
wujudkan cita-citanya. Maafkan atas semua kesalahan bunda selama ini. Dan pesan
bunda yang terakhir, selalu ingatlah pada Yang Kuasa.”
Setelah mengucapkan beberapa kalimat tersebut, bunda dituntun
oleh Mas Al untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan kemudian bunda dijemput
oleh Yang Kuasa.
Kami berempat berpelukan, erat sekali. Tangis kami pecah. Kami
tak menyangka bunda akan pergi menyusul ayah secepat itu.
“Terima kasih bunda. Terima kasih atas semua cinta bunda pada
kami. Tiada orang lain yang bisa menggantikan posisi bunda dalam hidup kami. Terima
kasih bunda, telah melahirkan, mendidik dan membesarkan kami dengan gigih dan
penuh cinta. Kami, yang bukan apa-apa tanpa tuntunan bunda akan selalu berusaha
mewujudkan semua angan-angan dan harapan bunda pada kami,” Mbak Yanda berkata
lirih disamping jenazah bunda dan kemudian mencium bunda untuk yang terakhir
kalinya.
Kemudian Mas Al, Mas Fawwaz dan aku bergantian mencium bunda
untuk yang terakhir kalinya.
Terima kasih bunda…..
Created by • Ayunita N.R.